Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI WATES
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Wat KHOIRU Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan BBPOM Yogyakarta Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 24 Mei 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Wat
Tanggal Surat Senin, 24 Mei 2021
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2021/PN Wat.
Pemohon
NoNama
1KHOIRU
Termohon
NoNama
1Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan BBPOM Yogyakarta
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Yogyakarta, 24 Mei 2021

Hal      : Permohonan Praperadilan

Lamp. : Surat Kuasa

                                   

Kepada

Ketua Pengadilan Negeri Wates

Pada Pengadilan Negeri Wates

di Wates

 

Dengan hormat,

Kami yang bertanda-tangan di bawah ini:

  1. Sri Widodo, S.Fil., S.H.
  2. Abdus Salam, S.H., M.H.

Adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Satriawan Edo & Co., yang beralamat di Wisma Hartono Lt. 3 Suite 301, Jl. Jend. Sudirman No. 59 Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia 55221 Telp./Fax.: +62274 552004. Dalam hal ini secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan Surat Kuasa khusus tanggal 21 Mei 2021 bertindak untuk dan atas nama klien kami :

Nama                     :  KHOIRU

TTL                         :  Banyuwangi, 03 April 1985

Jenis Kelamin           :  Laki-laki

Nomor KTP              :  Wiraswasta

Alamat sesuai KTP

:

Ngebel RT 007 RW 000, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Alamat domisili

:

Dusun Domotirto RT 3, Kel/Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

dalam kedudukannya selaku Tersangka dalam perkara pidana berdasarkan laporan Kejadian No. LK/01.I/2021/POM YK selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------ Pemohon;

 

Mengajukan permohonan praperadilan melawan:

 

Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta berkedudukan di Jl. Tompeyan No. 1 Kota Yogyakarta untuk seterusnya disebut sebagai-----------------------------------Termohon;

 

Pemohonan Praperadilan ini diajukan atas dasar Penetapan Tersangka dan Penyitan Barang bukti secara tidak sah terhadap diri Pemohon dan objek barang bukti dalam perkara pidana berdasarkan laporan Kejadian No. LK/01.I/2021/POM YK tanggal 26 Januari 2021, yang selanjutnya sistematikanya akan kami uraikan di bawah ini. Adapun permohonan ini kami ajukan berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

  1. PENETAPAN TERSANGKA TIDAK SAH
  1. Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
    1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
  2. Bahwa objek praperadilan sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah :
    1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
    2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
  3. Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 Oktober 2014, objek Pra Peradilan telah ditambahkan dengan mengatur sah atau tidak penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  4. Bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari penyidikan, yang oleh Pasal 1 angka 2 KUHAP didefinisikan sebagai , “… serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Sehingga Penetapan Tersangka tidak dapat dipisahkan dari tindakan penyidikan yang dilakukan (Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014);
  5. Bahwa dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji mengenai ketentuan objek praperadilan. Dalam angka 1 poin 1.3 amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 dinyatakan: “Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”;
  6. Bahwa berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP Jo. amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 sebagaimana kami kutip dalam poin 3 permohonan ini, maka sah atau tidak Penetapan Tersangka dapat menjadi objek pemeriksaan praperadilan;
  7. Bahwa dalam perkara a quo, Penetapan Tersangka terhadap Pemohon didasarkan pada Pasal 196 atau Pasal 197 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan);
  8. Bahwa Pasal 196 UU Kesehatan berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda palng banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
  9. Bahwa Pasal 197 UU Kesehatan berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat Kesehatan yag tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak RP1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah)”;
  10. Bahwa permasalahan hukum yang terjadi sehingga Pemohon ditetapkan sebagai tersangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud di dalam 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan adalah sebagai berikut :

10.1    Bahwa Pemohon selaku perorangan yang berdomosili di Yogyakarta telah menerima produk Pegal Linu Husada Jamu Jawa Dwipa Tawon Klanceng dari CV Putri Husada Jawa Timur dan mengedarkannya kepada beberapa konsumen di Yogyakarta;

10.2    Bahwa pada kenyataannya setelah dilakukan uji lab, produk yang diterima oleh Pemohon dari CV Putri Husada Jawa Timur dan diedarkan oleh Pemohon kepada beberapa konsumen di Yogyakarta telah tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Kesehatan;

10.3    Bahwa izin edar yang tertulis pada produk tersebut dimana tercantum nama Badan POM yakni tertulis POM TR. 143 676 881 adalah palsu, sehingga penyidik berpendapat bahwa Produk tersebut bukan produk yang memiliki izin edar;

11. Bahwa permasalahan mendasar yang menjadi poin penting permohonan praperadilan atas tidak sahnya penetapan tersangka, adalah sebagai berikut :

11.1  Bahwa dalam pemeriksaan di penyidikan Pemohon menyampaikan kedudukan Pemohon sebagai penerima produk yang tidak tahu menahu mengenai izin produk tersebut palsu, karena berdasarkan keterangan pihak CV Putri Husada Jawa Timur yakni Sdr. Musa, Sdr. Jiyo, dan Sdr. Sonny (selaku pemilik produk-produk tersebut), produk tersebut telah sesuai standar dan memiliki izin edar (bahkan juga diperpanjang izin-izinnya).

11.2    Bahwa dalam pemeriksaan di penyidikan Pemohon menyampaikan kedudukan Pemohon sebagai penerima produk Obat Tradisional Pegal Linu Husada Jamu Jawa Dwipa Tawon Klenceng yang tidak tahu menahu mengenai apakah produk-produk tersebut sudah memenuhi standar, dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu. Sebagai pihak yang menerima produk (bukan sebagai produsen) hanya mengetahui spesifikasi dari produk-produk tersebut berdasarkan :

(1) informasi yang disampaikan oleh pihak CV Putri Husada Jawa Timur yakni Sdr. Musa, Sdr. Jiyo, dan Sdr. Sonny (selaku pemilik produk-produk tersebut) yang pada pokoknya pihak CV Putri Husada Jawa Timur menyatakan produk-produk tersebut sudah memenuhi standar, dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu;

(2) ada izin tertulis POM TR. 143 676 881 yang dijadikan dasar pihak CV Putri Husada Jawa Timur yakni Sdr. Musa, Sdr. Jiyo, dan Sdr. Sonny (selaku pemilik produk-produk tersebut) untuk meyakinkan Pemohon bahwa produk-produk tersebut sudah memenuhi standar, dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, dan telah memiliki izin edar;

11.3 Bahwa Termohon seharusnya lebih mendalami sejauh mana keterlibatan Pemohon dengan memeriksa pihak CV Putri Husada Jawa Timur yakni Sdr. Musa, Sdr. Jiyo, dan Sdr. Sonny (selaku pemilik produk-produk tersebut), dan memastikan terpenuhinya unsur sengaja atau kesengajaan dalam Pasal 196 dan 197 UU Kesehatan. Namun dalam faktanya pemeriksaan terhadap saksi-saksi tersebut tidak dilakukan karena CV Putri Husada Jawa Timur Berada di wilayah Jawa Timur sehingga menjadi kewenangan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di Surabaya (diketahui fakta ini berdasarkan keterangan Termohon pada saat pemeriksaan ditahapan penyidikan). Padahal jika benar tindak pidana tersebut terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, maka locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana) tersebut adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga siapa pihak yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan adalah BBPOM DIY dan bukan BBPOM Surabaya.

11.4 Bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015). Di dalam menetapakan Pemohon sebagai Tersangka, Termohon tidak mendasarkan pada minimal dua alat bukti yang mampu membuktikan setiap unsur pada pasal 196 dan 197 Undang-undang Kesehatan.

  1. Bahwa apabila dikaitkan dengan tindak pidana dalam Pasal 196 UU Kesehatan, Pasal 196 UU Kesehatan memiliki unsur “Setiap orang”, “dengan sengaja, dan memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3)”;
  2. Bahwa selanjutnya Pasal 197 UU Kesehatan memiliki unsur delik “setiap orang”,dengan sengaja”, dan “memproduksi atau mengedarkan sediaan famasi dan/atau alat Kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)”;
  3. Bahwa unsur “setiap orang” menurut Kamus Fockema Andreae, subjek hukum diartikan sebagai rechtssubject, yang artinya adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban, jadi yang mempunyai wewenang hukum (N. E. Algra, dkk, 1983);
  4. Bahwa Jan Remmelink berpendapat unsur subjek hukum hanya terbatas pada perilaku atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia bukan pada sikap batinnya. Pada faktanya, Pemohon yang merupakan Pengedar Lepas Produk Pegal Linu Husada Jamu Jawa Dwipa Tawon Klenceng yang diproduksi CV Putri Husada Jawa Timur sehingga unsur “setiap orang” tidak dapat terpenuhi karena Pemohon tidak sepenuhnya memiliki pemahaman mengenai isi produk tersebut;
  5. Bahwa dalam unsur “dengan sengaja” dilandaskan pada teori dari definisi kesengajaan itu sendiri, yakni willen (kehendak) dan wetten (pengetahuan). Tidak terpenuhinya unsur kesengajaan kami jelaskan sebagai berikut :
    1. Bahwa unsur “kehendak” pada diri Pemohon tidak terpenuhi karena pada faktanya pihak CV Putri Husada Jawa Timur (Sdr. Musa, Sdr. Jiyo, dan Sdr. Sonny) meyakinkan Pemohon bahwa produk Pegal Linu Husada Jamu Jawa Dwipa Tawon Klenceng tersebut asli dan telah memiliki izin edar sehingga tidak ada masalah berkaitan dengan standar produk, namun dikemudian hari ditemukan bahwa izin edar dari produk tersebut telah kadaluwarsa dan sedang dalam proses perpanjangan. Hal tersebut mengakibatkan adanya error factie atau kecacatan yang menghapus pertanggungjawaban Pemohon. Dalam kesesatan fakta berlaku asas facti vero ignorantiam non nocere yang berarti kesesatan fakta masih dapat membebaskan seseorang dari hukuman atau termasuk dalam penghapus pidana (Eddy O. S Hariej, 2014);
    2. Bahwa unsur “pengetahuan” pada diri Pemohon tidak terpenuhi karena pada faktanya terdapat error factie dimana Pemohon tidak mengetahui bahwa produk tersebut tidak memiliki kemanfaatan dan keamanan sebagaimana diwajibkan dalam UU Kesehatan, sehingga unsur “dengan sengaja” tidak dapat terpenuhi;
  6. Bahwa unsur “memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu” sebagaimana dimaksud Pasal 196 UU Kesehatan adalah sesuai ketentuan Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan yang mengatur :
    1. Ayat (2) : “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan megedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”.
    2. Ayat (3) : “Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat Kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

Dengan demikian menurut Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU Kesehatan tersebut, unsur keahlian dan kewenangan serta unsur standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah adalah syarat yang harus dimiliki untuk dapat memenuhi tindak pidana Pasal 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan. Tidak terpenuhinya unsur keahlian dan kewenangan serta unsur standar mutu pelayanan farmasi menjadi dasar produsen bisa dituntut pidana Pasal 196 dan Pasal 197 UU Kesehatan. Sehingga, ketentuan Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-undang Kesehatan ditujukan untuk pemilik produk / pihak yang memproduksi dan hanya akan berlaku untuk orang di luar itu manakala bisa dibuktikan adanya unsur kesengajaan yakni willen (kehendak) dan wetten (pengetahuan), sementara dalam perkara a quo unsur kesengajaan tersebut tidak terpenuhi sebagaimana uraian kami sebelumnya..

  1. Bahwa menurut Eddy O. S. Hiariej untuk selain memenuhi rumusan delik, pemidanaan harus didasarkan maksud dari pembentuk Undang-Undang atau wessenchau, wessenchau sendiri memiliki makna suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur delik tidak hanya karena perbuatan tersebut telah sesuai dengan rumusan delik tetapi perbuatan tersebut juga dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang (Eddy O. S. Hiariej, 2014). Oleh karena penjelasan di atas, unsur tersebut tidak terpenuhi;
  2. Bahwa adapun unsur “memproduksi atau mengedarkan sediaan famasi dan/atau alat Kesehatan yang tidak mmiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1)” sebagaimana dimaksud Pasal 197 UU Kesehatan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) UU Kesehatan, yang bunyinya sebagai berikut:

“Sediaan farmasi dan alat Kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar” sehingga dalam hal ini, keberadaan pasal tersebut melekat pada Produsen yang mana produsen  tidak boleh mendistribusikan barang tanpa adanya izin edar. Pengedar saja atau pihak lain yang mendistribusikan produk tersebut kepada konsumen dapat diminta pertanggungjawaban pidana berdasarkan ketentuan Pasal 197 UU Kesehatan manakala bisa dibuktikan adanya unsur kesengajaan yakni willen (kehendak) dan wetten (pengetahuan), sementara dalam perkara a quo unsur kesengajaan tersebut tidak terpenuhi sebagaimana uraian kami sebelumnya.

  1. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penetapan Tersangka terhadap Pemohon sebagaimana telah dilakukan oleh Termohon melalui Surat Penetapan Tersangka No. SP. TAP/01/11/2021/POMYK adalah tidak sah karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP Jo. amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 Jo. Pasal 196 dan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga penyidikan atas kasus tersebut harus dihentikan.
  1. PENYITAAN TERHADAP BARANG BUKTI YANG TIDAK SAH;
  1. Bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP mengatur mengenai penyitaan adalah sebagai berikut:

“Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.”

Bahwa dalam keadaan yang mendesak, penyitaan dapat dilakukan dengan mengacu pada Pasal 38 ayat (2) KUHAP sebagaimana mengatur sebagai berikut:

“Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporka kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya”;

  1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 mendefinisikan lebih lanjut mengenai kata “segera”. Putusan tersebut menyatakan frasa “segera” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”;
  2. Bahwa menurut Eddy OS Hiariej, bukti yang didapat tidak dengan prosedur dikatakan sebagai tainted evidence/bukti yang ternodai (Eddy O. S Hiariej, 2014);
  3. Bahwa sejalan dengan pendapat Eddy O.S Hiariej, menurut Max M. Houck yang termasuk dalam tainted evidence adalah derivative evidence atau bukti yang tidak orisinil (Max. M Houck, 2009). Oleh karena itu, bukti-bukti yang didapatkan tidak sesuai dengan prosedur penyitaan harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak dapat digunakan dalam proses peradilan hukum pidana;
  4. Bahwa berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti yang dibuat oleh Termohon, Termohon telah melakukan penyitaan barang bukti sebagai berikut:
  1. Sediaan farmasi berupa obat tradisional yang diduga mengandung bahan kimia obat (BKO) atau tanpa ijin edar/ nomor pendaftaran fiktif, berupa Pegel Linu Husada Jamu Jawa Dwipa Tawon Klanceng sejumlah 25 dus @12 botol;
  2. 1 (satu) unit mobil pick up Mitsubishi strada CR2.5SC warna hitam mika nopol AB 8462 WK beserta STNK atas nama Heti Seviana;
  1. Bahwa menurut ketentuan Pasal 38 ayat (2) KUHAP dalam hal keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan setelah penyitaan wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat untuk mendapatkan persetujuan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-XI/2013 menafsirkan  pengertian kata “segera” dalam Pasal 38 ayat (2) KUHAP yakni “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”. Dengan demikian, dalam waktu maksimal 7 (tujuh) hari setelah penangkapan seharusnya Termohon sudah melakukan pelaporan kepada Ketua Pengadilan dan tembusan surat pelaporan tersebut disampaikan kepada Pemohon.
  2. Bahwa sampai saat diajukannya Permohonan Praperadilan ini, Pemohon tidak pernah menerima tembusan Laporan ketua Pengadilan Negeri yang diberikan oleh Termohon atas penyitaan barang bukti yang dilakukan. Padahal meminta melaporkan kepada Ketua Pengadilan dan menyerahkan tembusan atas laporan penyitaan barang bukti tersebut kepada Pemohon adalah kewajiban Termohon sesuai dengan ketentuan KUHAP.
  3. Dengan demikian jelas tindakan Termohon melakukan penyitaan barang bukti tersebut merupakan tindakan yang tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 39 ayat (1) KUHAP dan harus dibatalkan terhadap Penyitaan barang bukti oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.

Bahwa selanjutnya dengan mempertimbangkan dalil-dalil kami sebagaimana tersebut dalam uraian di atas, maka penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon dan penyitaan barang bukti yang menjadi milik Pemohon adalah tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 77 huruf a KUHAP Jo. amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 21/PUU-XII/2014 Jo. Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 38 ayat (1) jo. Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Oleh karena itu, kami mohon kepada yang terhormat Ketua Pengadilan Negeri Wates untuk memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan sebagai berikut:

DALAM POKOK PERKARA

PRIMAIR:

  1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Praperadilan dari Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan penetapan tersangka terhadap Pemohon berdasarkan Surat Penetapan Nomor: SP TAP/01/II/2021/POM YK karena dugaan tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, dan oleh karenanya penetapan tersangka dalam perkara a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka Nomor: SP TAP/01/II/2021/POM YK batal demi hukum;
  4. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  5. Menyatakan penyitaan atas semua barang bukti yang dimikili Pemohon adalah tidak sah, sehingga batal demi hukum dan harus dihentikan;
  6. Memerintahkan kepada Termohon untuk mengembalikan semua barang bukti kepada Pemohon;
  7. Menghukum Temohon untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara ini;

SUBSIDAIR

Mohon putusan yang seadil - adilnya (ex aequo et bono).

Demikian permohonan ini kami sampaikan atas dikabulkannya permohonan ini kami sampaikan terima kasih.

Hormat kami,

Kuasa Hukum Pemohon

 

 

Sri Widodo, S.Fil., S.H.                                                                      Abdus Salam, S.H., M.H.    

Pihak Dipublikasikan Ya